Kamis, 23 Oktober 2014

Baitul maal wattamwil (bmt)


BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT)
Makalah
Disusun  Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Supriyadi



Disusun Oleh :

Anifatur Rosyidah      ( 212113)
Khoirul Yusuf             (212133)
Solihatin Nafi’ah         (212)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM  NEGERI (STAIN) KUDUS JURUSAN SYARI’AH/PRODI EKONOMI SYARI’AH
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan lembaga keuangan Islam di Indonesia menunjukkan perkembangan dan keberhasilan yang nyata. Banyak sektor – sektor lembaga lembaga keuangan yang terwujud dalam konsep Islam yaitu lembaga keuangan syari’ah. Seiring berkembangnya perbankan syari’ah di Indonesia, berkembang pula lembaga keuangan mikro syari’ah dengan sarana pendukung yang lebih lengkap. Ketersediaan infrastruktur baik berupa peraturan menteri, keputusan menteri, SOP, SOM, IT, Jaringan dan Asosiasi serta perhatian perbankan khususnya perbankan syari’ah mempermudah masyarakat mendirikan BMT. Belajar dari 15 tahun perkembangan BMT, ternyata BMT yang gugur dan BMT yang tumbuh pesat sangat dipengaruhi oleh SDM, modal kerja, system. SDM sebagai poin pertma menjadi pondasi utama BMT. Apabila BMT berisi SDM yang memiliki integritas tinggi, capable dibidangnya, semangat kerja dan kinjerja yang baik maka BMT akan bergerak dan tumbuh dengan dinamis. Namun pergerakan dan pertumbuhanya akan terhambat ketika modal kerja yang dimiliki tidak memadai.
Untuk itu perlu kiranya kita membahas tentang pengertian BMT sampai tata cara pendirian BMT. Untuk itu ada beberapa permasalahan yang dapat kita bahas dalam makalah ini.[1]

B.     Rumusan Masalah 
1.      Apa pengertian Baitul Maal Wattamwil (BMT) ?
2.      Apa dasar-dasar Baitul maal Wattamwil (BMT) ?
3.      Bagaimana tata cara pendirian Baitul maal Wattamwil (BMT) ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian BMT
Baitul maal wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal  lebih lebih mengarah pada usaha – usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non – profit, seperti: zakat, infaq,  shodaqoh. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha – usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah.[2]
            Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya, PINBUK menetaskan BMT, dan pada giliranya BMT menetaskan usaha kecil.[3] Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat di mana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.
            Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan system syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip – prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup – ilmu pengetahuan atau materi – maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

B.     Dasar-dasar (BMT)
            BMT didirikan dalam bentuk KSM ( Kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi. Sebelum usahanya, kelompok Swadaya Masyarakat mendapatkan sertifikat operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri mesti mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM).
Berkenaan dengan Koperasi Unit Desa (KUD) dapat mendirikan BMT telah diatur dalam petunjuk Menteri Koperasi dan PPK tanggal 20 maret 1995 yang menetapkan bahwa bila di suatu wilayah di mana telah ada KUD dan KUD tersebut telah berjalan dengan baik dan organisasinya telah teratur dengan baik, maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom (U2O) atau Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila KUD yang telah berdiri itu belum berjalan dengan baik, maka KUD yang bersangkutan dapat dioperasikan sebagai BMT.
 Penggunaan badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut undang-undang, pihak yang berhak menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan prinsip bagi hasil. Jadi BMT[4] adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan
C.    Mendirikan BMT[5]
1.      Modal Pendirian BMT
      BMT dapat didirikan dengan modal awal sebesar Rp. 20.000.000; (dua puluh juta rupiah) atau lebih. Namun demikian, jika terdapat kesulitan dalam mengumpulkan modal awal, dapat dimulai dengan modal Rp. 10.000.000; (sepuluh juta rupiah) bahkan Rp. 5.000.000; ( lima juta rupiah). Modal awal ini dapat berasal dari satu atau beberapa tokoh masyarakat setempat, yayasan, kas masjid atau BAZIZ setempat. Namun sejak awal anggota pendiri BMT harus terdiri antara 20 samapi 44 orang. Jumlah batasan 20 sampai 44 anggota pendiri, ini diperlukan agar BMT menjadi milik masyarakat setempat.
2.      Badan Hukum BMT
BMT dapat didirikan dalam bentuk kelompok Swadaya Masyarakat atau Koperasi.
1)      KSM adalah Kelompok Swadaya Masyarakat dengan mendapat Surat Keterangan Operasional dan PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
2)      Koperasi serba usaha atau koperasi syari’ah.
3)      Koperasi simpan pinjam syari’ah (KSP Syari’ah)
3.       Tahap Pendirian BMT
      Adapun tahap – tahap yang perlu dilakukan dalam pendirian BMT adalah sebagai berikut:
1)      Pemrakarsa membentuk panitia Penyiapan Pendirian BMT (P3B) di lokasi tertentu, seperti masjid, pesantren, desa miskin, kelurahan, kecamatan atau lainya.
2)      P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp5.000.000; sampai Rp.10.000.000; atau lebih besar mencapai Rp.20.000.000; untuk segera memulai langkah operasional. Modal awal ini dapat berasal perorangan, lembaga, yayasan, BAZIZ, Pemda atau sumber – sumber lainya.
3)      Atau langsung mencari pemodal – pemodal pendiri dari sekitar 20 sampai 44 orang di kawasan itu utnuk mendapatkan dana urunan hingga mencapai jumlah Rp.20.000.00; atau minimal Rp.5.000.000;.
4)      Jika calaon pemodal telah ada maka dipilih pengurus yang ramping (3 samapai 5 0rang) yang akan mewakili pendiri dalam mengerahkan kebijakan BMT.
5)      Melatih 3 calon pengelola (minimal pendidikan D3 dan lebih baik S1) dengan menghubungi Pusdiklat PINBUK Propinsi atau Kab/Kota.
6)      Melaksanakan persiapan – persiapan sarana perkantoran dan formulir yang diperlukan.
7)      Menjalankan bisnis operasi BMT secara professional dan sehat.











BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Pengertian BMT
      Baitul maal wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal  lebih lebih mengarah pada usaha – usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non – profit, seperti: zakat, infaq,  shodaqoh. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha – usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah
2.      Dasar-dasar (BMT)
            BMT didirikan dalam bentuk KSM ( Kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi. Sebelum usahanya, kelompok Swadaya Masyarakat mendapatkan sertifikat operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri mesti mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM).
3.      Mendirikan BMT
a.      Modal Pendirian BMT
b.     Badan Hukum BMT
c.      Tahap Pendirian BMT




DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, Bank dn Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Eknosia UII, Yogyakarta, 2004.
Azis, Abdul, dan Mariyah, ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer Bandung: Alfabeta, 2010
            M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial – Ekonomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.



[1] http://royanmakalah.blogspot.com/2013/01/bmt.html?m=1
[2] Heri Sudarsono, Bank dn Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Eknosia UII, Yogyakarta, 2004, hlm 96.
[3] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial – Ekonomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm 431
[4] Abdul, aziz dan Mariyah, ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer (Bandung: Alfabeta,2010),h. 115 
[5] Heri Sudarsono, Op.Cit, hlm.105 - 106

Selasa, 07 Oktober 2014

Rumusan masalah faktor produksi



A.     
Produksi adalah bagian terpenting dari ekonomi Islam bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu dari rukun ekonomi disamping konsumsi, distribusi, redistribusi, infak dan sedekah. Karena produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfa’atkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi dapat dilakukan dengan manusia secara sendiri. Artinya seseorang memproduksi barang/jasa kemudian dia mengonsumsinya. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan beragamnya kebutuhan konsumsi serta keterbatasan sumber daya yang ada (kemampuannya), maka seseorang tidak dapat lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, akan tetapi membutuhkan orang lain untuk menghasilkannya. Oleh karena itu kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda. Dan untuk memperoleh efisiensi dan meningkatkan produktifitas lahirlah istilah spesialisasi produksi, diversifikasi produksi dan penggunaan tehnologi produksi. Dalam Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, saw. konsep produksi barang dan jasa dideskripsikan dengan istilah-istilah yang lebih dalam dan lebih luas. Al-Qur’an menekankan manfa’at dari barang yang diproduksi. Memproduski suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia,
Oleh karena itu, konsep produksi yang dianggap sebagai kerja produktif dalam Islam adalah proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan manusia. Maka dalam hal ini, prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi adalah prinsip tercapainya kesejahteraan ekonomi.[1]


[1] Eko Suprayitno, “Ekonomi Mikro Perspektif Islam”, UIN-Malang Press, Cet. I 2008, Malang