Senin, 16 Desember 2013

interaksi peradaban islam dengan peradaban modern



INTERAKSI PERADABAN ISLAM DENGAN PERADABAN MODERN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Kelas : B( Ekonomi Islam )
Dosen Pengampu : Zainal Arifin, S. Ag, M. Ag,

Disusun Oleh:
1.      M. Khoirul yusuf                        : 212133
2.      Uliyatun nasiroh              : 212134

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH  / EKONOMI  ISLAM
2013

                                                                                                                                                      I.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
umat Islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat. Dari kekhawatiran tersebut, maka kemudian cenderung bersikap resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat muslim dari pengaruh negative berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka juga berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat Islam yang lain cenderung menerima apa yang datang dari Timur maupun Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.
Dari gambaran tersebut, kaum muslimin harus bersikap kritis dengan menelaah setiap permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.   Bagaimana problem dunia Islam di Era Modern?
2.   Bagaimana kondisi politik, ekonomi, dan budaya Islam di Era Modern?


                                                                                                                                                         II.   PEMBAHASAN

1.      Dunia Islam di Era Modern
Melihat wajah dunia Islam masa kini yang berada pada titik puncak kemundurannya, maka dapat dikemukakan beberapa problem secara umum yang dialami oleh sebagian besar umat Islam:
a.       Ancaman Yahudi
Kuku-kuku Yahudi menyebar ke berbagai sektor kehidupan manusia, yahudi ingin memutarbalikkan fakta sejarah dan menguburkan fakta kebenaran sehingga mereka mampu menempatkan orang yang benar sebagai terhukum dan yang salah sebagai termenang. Racun Yahudi telah ada jauh sebelum Konferensi sebelum tahun 1897. Juga telah ada jauh sebelum Rabae Leiva (1520-1659) yang menyerukan berdirinya Negara Yahudi di Palestina. Bahkan pada zaman Rasulullah pun ancaman Yahudi “kepala naga” sudah ada untuk umat Islam
b.      Sekularisme
  Sekularisme berasal dari kata “secular”, yang berarti unreligious atau anti agama. Pada mulanya, sekulerisme bertujuan menghancurkan pengaruh gereja di Eropa dan melepaskan belenggu kedzaliman tokoh-tokoh gereja, yang pada akhirnya berhasil mengibarkan panji sekulerisme dengan slogan “Religion is for God and Nation is for All”. Akan tetapi, sekulerisme tidak hanya melanda dunia Barat-Kristen, tetapi menyusup ke seluruh Negara-negara Islam melalui sistem pemerintahan yang diwariskan oleh colonial kepada Negara jajahannya, dan juga melalui sarjana-sarjana yang belajar di Perguruan Tinggi Barat yang tidak hanya datang mempelajari ilmu-ilmu Exacta, tetapi juga belajar ilmu politik, social, dan bahkan ada yang datang ke Barat untuk belajar Islam. Sebuah kenyataan yang memprihatinkan akhir-akhir ini.
  Dalam konteks ini tampaknya sebagian orang benar-benar tertipu oleh kemajuan peradaban Barat. Kemajuan sains dan teknologi Barat, oleh sebagian orang dinilai karena keberhasilan mereka memisahkan antara dunia dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, mereka lupa bahwa kemajuan Barat itu sendiri dengan segala akses dan bencana yang dibawanya yang dinilai sebagai hasil dari sekulerisme, sungguh tidak relevan dengan dunia Islam. sekulerisme mungkin dapat diterima untuk dunia Barat Kristen, karena sistem religiusnya yang sulit bertahan dalam menghadapi perkembangan zaman. Lain halnya dengan Islam, yang ajarannya senantiasa relevan dengan perputaran roda peradaban manusia. Ini karena, sebagai agama yang terakhir, Islam menganut sistem universal dan lengkap. Tak satu aspek pun dalam kehidupan ini yang luput dari aturan Islam ditambah lagi oleh sistem hukum dalam Islam yang menerima perkembangan zaman yang dinamis (mutathawwir) di samping konsep-konsep yang konstan dan berlaku umum (tsabit).
c.       Nasionalisme
  Seiring dengan sekulerisme bangkit pula faham nasionalisme yang menjangkiti seluruh Negara muslim. Gerakan nasionalisme telah menyerbu negeri-negeri Islam sejak khilafah Utsmaniah masih berdiri tegak. Melalui penjajahan colonial, ide nasionalisme diinjeksikan kepada tokoh-tokoh dan membangkitkan semangat cinta leluhur di setiap negeri-negeri Islam, hingga setiap bangsa tidak lagi merasa dipersatukan oleh akidah Islam, tetapi lebih menonjolkan warisan nenek moyangnya sebelum Islam. Mesir ingin kembali pada leluhur Fir’aunnya, Turki membesar-besarkan peradaban Turani-nya, Suriah dengan Phoenicisme-nya, Maroko dengan Barbar-nya, daan demikian pula dengan Negara-negara Islam lainnya.
  Karena saangat ampuhnya spirit nasinonalisme di dunia Islam, begitu “Khilafah Utsmaniyah” di Turki runtuh masing-masing negeri Islam yang sebelumnya bernaung di bawah payung “Utsmaniyah”, memproklamasikan dirinya sebagai Negara yang berdiri sendiri dengan pemerintahan yang tersendiri pula. Jadi, pada saat Khilafah Utsmaniyah mengalami kemunduran, Yahudi dan Barat Kristen bekerja sama melakukan konspirasi di dalam tubuh pemerintahan Utsmaniyah dengan mengorbitkan Kemal Attarurk, Yahudi Turki yang siap menghancurkan pemerintahan yang telah berumur ratusan tahun itu. Di Negara-negara Islam lainnya colonial Barat telah lebih dahulu menanamkan semangat Nasionalisme kepada setiap bangsa yang dijajahnya agar memisahkan dari pemerintahan induk di Turki. Barat berusaha melukiskan kepada bangsa-bangsa Islam bahwa Nasionalisme adalah jawaban satu-satunya untuk mengatasi problema yang sedang dihadapi umat Islam. Padahal dalam literature Islam nasionlisme, tidak lain dari suatu seruan fanatisme kesukuan dan kebangsaan yang dilukiskan oleh Rasulullah SAW. Sebagai “barang yang berbau busuk”.[2]
1.      Kondisi Politik, Ekonomi, dan  Budaya Islam di Era Modern
a.       Kondisi Politik Islam di Era Modern
            Ketika Negara-negara Islam berhasil meraih kemerdekaan dari penjajahan militer Barat pada pertengahan abad ini, banyak orang bergembira. Akan tetapi, banyak orang lupa bahwa pada awal abad ini telah terjadi suatu konspirasi internasional yang meruntuhkan kekuatan politik umat Islam, yaitu dihapuskannya Khalifah Utsmaniyah di Turki, karena kemunduran progress dari kerajaan Utsmani yang merupakan pemangku Khilafah Islam, setelah abad ke tujuh belas[3]. Walaupun tidak bisa dipungkiri adanya berbagai kelemahan di dalam tubuh sistem yang berkuasa pada saat itu. Dan banyak orang yang lupa bahwa dengan hengkangnya penjajah, bukan berarti sebuah Negara telah merdeka secara total. Akan tetapi, jauh sebelum Barat meninggalkan daerah jajahannya, Barat terlebih dahulu mempersiapkan calon pimpinan penggantinya di negeri itu, walaupun orangnya berasal dari putra Negara jajahan. Buktinya kemerdekaan yang dicapai hanya sekedar merdeka dari orang-orang asing, tetapi dari segi hukum, sistem, dan praktek yang berlaku tidak jauh berbeda, kalau tidak persis sama dengan sistem dan hukum masa penjajahan.
            Dalam beberapa dekade terakhir ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet tampil sebagai pengatur dan penentu peta politik dunia. Kedua negara “super power” itu berhasil mengotak-otakkan dunia Islam ke dalam dua blok, yaitu blok Barat dan Blok Timur. Meskipun dunia Islam menyatakan dirinya sebagai Negara nonblok, namun dalam praktiknya sikap itu sulit dipertahankan, karena ketergantungan sebagai Negara-negara Islam kepada Barat, yang tidak hanya menyangkut ekonomi, bahkan juga politik, miter, dan sampai pada budaya.
            Di Barat menggunakan sistem kapitalisme dalam perekonomian, demokrasi dalam sistem politik, dan eksistensialis atau faham kebebasan dalam kehidupan social, maka di Negara muslim, sistem yang sama juga ditemukan dengan tiga elemennya. Demikian pula blok Timur dengan sosialisme sebagai landasan ekonomi, diktatorisme-proletar sebagai faham politik, dan kebebasan moral normatif sebagai sistem sosialnya, maka acuan yang sama juga ditemukan di banyak Negara Islam. Walaupun pada hakekatnya, kedua sistem ini adalah hassil dari rekayasa Yahudi dan diatur oleh sebuah policy (kebijaksanaan) yang sama.[4]
b.      Kondisi Ekonomi Islam di Era Modern
            Bidang ekonomi merupakan sisi globalisasi yang paling penting. Salah satu bentuk implementasinya adalah realisasi pasar bebas dengan berbagai piranti pendukungnya, seperti hilangnya sekat penghalang bagi transaksi perdagangan, dibukanya pintu jual-beli tanpa proteksi, dan menjamurnya konglomerasi perekonomian raksasa yang banyak menguasai Negara-negara maju. Fenomena ekonomi global yang lain adalah merebaknya perusahaan-perusahaan patungan antar Negara yang mampu mencengkeram perekonomian dunia, sekalipun harus digerakkan atas atnggungan pihak (Negara) yang miskin dalam bentuk institusi-institusi keuangan seperti bank internasional ataupun holding company.
            Seandainya kita boleh memandang fenomena tersebut secara terbuka, dengan menghilangkan asumsi-asumsi parsial, niscaya kita akan sampai pada suatu keyakinan bahwa globalisasi ekonomi harus diapresiasi dengan positif agar kaum muslimin bisa memtik manfa’at darinya. Kita perlu sesegera mungkin menyatukan langkah untuk membangun konglomerasi ekonomi Islam yang secara pro aktif turut meramaikan percaturan zona-zona ekonomi tingkat regional maupun internasional. Salah satu bentuknya adalah dengan meningkatkan kualitas produksi, yang akan mendorong kaum muslimin mampu bersaing dengan kompetisi era globalisasi. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan peningkatan dan penyempurnaan kualitas produksi internal kita dalam berbagai komoditas yang berbeda.
            Lebih dari itu umat Islam juga dituntut untuk meningkatkan frekuensi perdagangan bilateral antara Negara-negara Islam, yang saat ini ironisnya hanya sekitar 10% dari total frekuensi hubungan dagang Negara-negara Islam dengan dunia luar.
            Jika umat Islam berhasil melaksanakan agenda-agenda di atas, maka paling tidak kita tak perlu lagi mengkhawatirkan imbas negative globalisasi ekonomi terhadap dunia Islam. Jika umat Islam mampu merespon arus ekonomi yang datang dari luar dengan arus ekonomi yang sepadan, maka umat ini akan menjadi salah satu competitor (pesaing) penting di era globalisasi. Bukan sekedar menjadi partisipan yang mengikuti kelompok-kelompok lain. Sehingga pada stadium selanjutnya, umat Islam akan memiliki pengaruh yang amat diperhitungkan dan mampu menyumbangkan saham bagi rekonstruksi arus globalisasi.[5]
c.       Kondisi Sosial Budaya Islam di Era Modern
            Selanjutnya globalisasi di bidang budaya. Jika hal ini didefinisikan sebagai upaya mewujudkan suatu budaya dunia universal yang bertujuan membangun kesadaran setiap individu akan tujuan-tujuan bersama demi kemanusiaan, dan untuk lebih mengetahui bahaya-bahaya yang mengancam umat manusia beserta lingkungannya, bahaya terorisme, jaringan narkotika, dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang semua itu. Tetapi, inti persoalannya baru muncul setelah ada kecenderungan globalisasi budaya yang hendak mengikis jati diri budaya bangsa-bangsa dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu, yaitu peradaban Barat. Suatu hal yang dapat menghancurkan jati diri budaya suatu bangsa, daan bahkan mengikisnya. Barangkali fenomena seperti itulah yang agaknya melahirkan penolakan dalam dunia Islam dan terkadang dianggap sebagai tantangan terberat yang mengancam identitas kaum muslimin.
            Ada suatu pertimbangan yang layak direnungkan. Islam sebagai agama inklusif tentu tak mungkin menolak suatu budaya hanya semata-mata karena ia berasal dari luar. Islam akan menelaah budaya tersebut, memilah-milah kandungannya secara seksama dan mengambil elemen-elemen yang bermanfa’at dalam dinamika perdaban itu.
            Di zaman modern ini kita dituntut untuk memainkan fungsi akal dan ikiran demi menyikapi kebudayaaan modern yang disuguhkan ke hadapan kita. Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan maslahat manusia, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi buta suatu kebudayaan yang mengandung manfa’at bagi umat manusia. Maka melalui penyikapan yang kritis, di satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tetap tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya. Kita harus berinteraksi dengan perkembangan zaman sebagai sebuah kenyataan, bersentuhan dengannya secara positif-konstruktif, agar kita selalu dapat memetik maslahat yang dihasilkannya bagi masyarakat.[6]
                                                                                                                                                             III.            PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Problem Dunia Islam di Era Modern
a.       Ancaman Yahudi
      Yahudi ingin memutarbalikkan fakta sejarah dan menguburkan fakta kebenaran, sehingga mereka mampu menempatkan orang yang benar sebagai terhukum dan yang salah sebagai pemenang.
b.      Sekularisme
      Sekularisme telah melanda sebagian besar dunia Islam, dimana Islam tidak lagi difungsikan untk mengatur segenap aspek kehidupan umat Islam, tetapi  hanya sekedar ibadah ritual yang tidak boleh ikut campur dalam urusan politik. Ekonomi, social budaya, dan lainnya.
c.       Nasionalisme
      Melalui penjajahan colonial ide gerakan nasionalisme diinjeksikan kepada tokoh-tokoh dan membangkitkan semangat cinta leluhur di setiap Negara-negara Islam, hingga setiap bangsa tidak lagi merasa dipersatukan oleh Akidah Islam, tetapi lebih menonjolkan warisan nenek moyangnya sebelum Islam.
2.      Kondisi Politik, Ekonomi, dan Budaya dalam Dunia Islam di Era Modern
a.       Kondisi Politik Islam di Era Modern
      Di Barat menggunakan sistem kapitalisme dalam perekonomiannya, demokrasi dalam politik, dan eksistensialis atau faham kebebasan dalam kehidupan social, maka di Negara muslim sistem yang sama juga ditemukan. Walaupun pada hakekatnya, sistem ini adalah hasil dari rekayasa Yahudi dan diatur oleh sebuah policy kebijaksanaan yang sama.
b.      Kondisi Ekonomi Islam di Era Modern
      Negara-negara Islam perlu sesegera mungkin menyatukan langkah untuk membangun konglomerasi Ekonomi Islam yang secara pro aktif turut meramaikan percaturan zona-zona ekonomi tingkat regional maupun internasional.
c.       Kondisi Budaya Islam di Era Modern
      Di zaman modern ini, kita sebagai umat Islam dituntut untuk memainkan fungsi akal dan pikiran demi menyikapi kebudayaan modern yang disuguhkan di depan kita.

B.     Penutup
      Demikianlah makalah yang adapat kami buat, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan kami mohon ma’af. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan dalam pembuatan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at untuk kita semua. Amin.

















DAFTAR PUSTAKA
Hamdi, Mahmud Zaqzaq. 20001. Reposisi Islam di Era Globalisasi. Jogjakarta. Pustaka Pesantren.
Rasyid, Daud. 1998. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta. Gema Insani Press.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.


[1] Mahmud Hamzi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Jogyakarta, Pustaka Pesantren, hlm 3
[2] Daud, Rasyid, islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta, Gema Insani Press, hlm 246-254
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm 257
[4] Ibid,hlm 250-251
[5] Mahmud Hamdi Zagzug, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Jogyakarta, Pustaka Pesantren hlm 6-7
[6] Ibid,hlm10-11

Wadi'ah (titipan)



wadi’ah (titipan)
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
 Mata Kuliah :  fiqih mu’amalah
Kelas : B (ekonomi islam)
Dosen Pengampu : H. Solikhul hadi, M. Ag
Logo STAIN

Disusun oleh   :

                            M.KHOIRUL YUSUF                                       :212133


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH  2013/2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Bank sebagai lembaga perantara keuangan harus melakukan mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana secara seimbang, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan adanya dewan syariah yang nantinya harus memahami persoalan hukum, ekonomi dan bisnis, serta adanya sistem bagi hasil dalam bank syariah tersebut maka sebelum sampai detail operasional, perlu diketahui sistem muamalah islam.
Berdasarkan prinsip pengembangan produk bank syariah, maka dapat diketahui bahwa produk bank syariah sangat bervariasi, tergantung pada prinsip yang akan dijadikan rujukan dalam pengembangan produk. Diantara prinsip-prinsip dalam pengembangan produk bank syariah, antara lain: prinsip wadi’ah (simpanan), prinsip syirkah (bagi hasil), prinsip tijaroh (jual beli/pengembalian keuntungan), prinsip Al-Ajru (pengembalian fee), prinsip Al-Qard (biaya administrasi).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wadi’ah ?
2.      Apa saja macam-macam al-wadi’ah?
3.      Apa syarat dan rukunnya wadi’ah?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk di jaga. Barang yang dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima titipan disebut wadi’. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.[1]
Terdapat dua jenis wadiah yaitu:
1.      Wadi’ah yad al-amanah, titipan murni, maksudnya, pihak yang dititipi tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan sebagai imbalan atas pemeliharaan barang titipan tersebut, pihak yang menerima titipan dapat meminta biaya penitipan.
2.      Wadi’ah yad adh-dhamanah, titipan yang mengandung pengertian bahwa penerima titipan diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan itu dapat diberikan sebagian kepada pihak yang menitipkan dengan syarat tidak diperjanjikan sebelumnya. Namun demikian, penerima titipan harus bertanggung jawab atas barang titipan bila terjadi kerusakan atau kehilangan.[2]
Titipan
Salah satu prinsip yang digunakan bank syariah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan.  Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah al-wadi’ah. Al-wadi’ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki secara umum terdapat dua jenis wadi’ah wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah


1.      Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut
a)      Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan akan digunakan oleh penerima titipan
b)      Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya
c)      Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebaskan biaya kepada yang menitipkan
d)     Mengingat barang atau harta yang di titipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan

                                NASABAH        1          1.  titip barang                    BANK
                                 MUWADDI’     2 bebankan biaya penitipan       MUSTAWDA’

Keterangan
Dengan konsep al-wadi’ah ya al-amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfatkan barang atau uang yang dititipkan pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepeda peenitip sebagai biaya peitipan,
2.wadi’ah  yad adh-dhamanah
                        Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik berikut ini
a)      Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan
b)      Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaaat, sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip
c)      Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan
d)     Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah, pemberian bonus tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tapi benar-benar penberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bang
e)      Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan
f)       Produk tabugan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan
Mekanisme wadi’ah yad adh-dhamanah dapat digambarkan dalam skema berikut
                  Skema al-wadi’ah yad adh-dhamanah
            NASABAH    1             titip dana                              BANK
               (penitip)        4          beri bonus                               mustawda’
                                                                           (Penyimpan)
                             
                                                      3          Bagi hasil         2pemanfaatan dana

                                                                            USERS OF FUND
                                                                       (nasabah pengguna dana)





B.     Jenis-jenis atau nama produk
Seperti apa yang  telah dijelaskan sebelumnya, bahwa akad wadi’ah ada dua, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah. Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah “tangan amanah” yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yad adh-dhamanah “tangan penanggung”. Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakkan dalam produk-produk perbankan.

1.       Jenis/produk wadi’ah yad adh-dhamanah
Tabungan Wadi’ah [3]
Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya. Disisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut. Ketentuan umum tabungan wadi’ah sebagai berikut:
·         Tabungan wadi’ah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
·         Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
·         Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.
Giro Wadi’ah
Yang dimaksud dengan giro wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Ketentuan umum giro wadi’ah sebagai berikut:
·         Dana wadi’ah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadi’ah tersebut.
·         Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·         Pemilik dana wadi’ah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian atau seluruhnya.



         2.      Jenis/Produk Wadi’ah Yad  Al-Amanah
Bank menerima titipan amanah (trustee account) berupa dana infaq, shadaqah, dan zakat, karena bank dapat menjadi perpanjangan tangan dalam baitul mal dalam menyimpan dan menyalurkan dana umat agar dapat bermanfaat secara optimal.


C.    Rukun dan syarat
       Rukun dari akad wadi’ah yaitu:
Ø  Pelaku akad, yaitu penitip dan penyimpan atau penerima titipan.
Ø  Objek akad, yaitu barang yang dititipkan.
Ø  Sighat, yaitu ijab kabul.
Sementara itu, syarat wadi’ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus merupakan kebijakan penyimpan dan bonus tidak disyaratkan sebelumnya.6

D.    Fatwa DSN Terkait Dengan Wadi’ah Ialah:
Fatwa DSN No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan wadi’ah ialah:
1.      Bersifat titipan
2.      Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah adalah:
1.      bersifat simpanan
2.      simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
3.      tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersiifat sukarela dari pihak bank.

E.     UU No. 21 tahun 2008 terkait dengan wadi’ah ialah:
Pasal 1 ayat 21
Tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet, giro dan / alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.



Pasal 1 ayat 23
Giro adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet, giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindah bukuan.
Pasal 19 ayat 1 poin a
Tentang Kegiatan usaha bank umum syariah
Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
F.     PBI Terkait Dengan Wadi’ah
Pasal 36 tentang bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:
  -Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain:
i.         Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
ii.         Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah/mudharabah.


G.    Meknisme Wadi’ah Yad Al-Amanah
i.                                                      Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
·         Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
·         Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
·         Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
·         Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.
ii.                                                   Mekanisme wadi’ah yad adh-dhamanah yaitu:
·         Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan
·         Karena diamnfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
·         Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
·         Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
·         Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan menejemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan
·         Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.

J.      Contoh Kasus
Wadiah adalah titipan murni yang tidak memperoleh bagi hasil yang diperjanjikan di muka. Umumnya bank syariah memberikan bonus pada nasabah produk wadiah. Namun bonus tersebut tidak boleh diperjanjikan, murni inisiatif bank dan merupakan pendapatan bank yang dihibahkan pada nasabah. Wadiah harus selalu bersifat on-call yang likuid (dapat diambil sewaktu-waktu).
Cara transaksi giro wadiah syariah secara prinsip sama dengan konvensional, yaitu dengan cek atau pemindah bukuan dengan bilyet giro. BTN syariah tidak ada bunga, hanya kemungkinan dapat diberikan bonus, yang sifatnya tidak diperjanjikan dan diberikan atas kebijaksanaan BTN syariah.
Contoh rekening giro Wadiah :
Tn. Baris memiliki rekening giro wadiah di Bank BTN Syari’ah dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2002 adalah Rp 1.000.000,-. Bonus yang diberikan Bank BTN Syari’ah kepada nasabah adalah 30% dengan saldo rata-rata minimal Rp 500.000,-. Diasumsikan total dana giro wadiah di Bank BTN Syari’ah adalah Rp 500.000.000,-. Pendapatan Bank BTN Syari’ah dari penggunaan giro wadiah adalah Rp 20.000.000,-.

Pertanyaan : Berapa bonus yang diterima oleh Tn. Baris pada akhir bulan Mei 2002.
Jawab :
Bonus yang diterima Tn. Baris adalah
= Saldo rata-rata x pendapatan bank x 30%
Total dana Bank
= Rp 1.000.000,- x Rp 20.000.000 x
Rp 500.000.000,-(sebelum dipotong pajak)
= Rp. 12.000,-

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Wadi’ah adalah akad antara pemilik barang dengan penerima titipan untuk menjaga harta atau modal dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.
2.      Ada dua jenis wadi’ah yakni wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah dengan dua jenis produk yakni tabungan wadi’ah dan giro wadi’ah.
3.      Wadi’ah yad al-amanah adalah  pihak bank sendiri tidak boleh memanfaatkan barang atau harta titipan dari nasabahnya dan pihak bank dapat meminta imbalan atas jasa titipan tersebut. Sedangkan wadi’ah yad adh-dhamanah adalah pihak bank boleh untuk memanfaatkan barang atau harta titipan nasabah dengan memberikan suatu imbalan berupa bonus yang tidak dipersyaratkan.























[1] http://maxzhum.blogspot.com /2009/05/resume-macam-macam-akad-keuangn
2 Hertanto widod, dkk, Panduan Praktis Operasional Baitul Mal, (Bandung: mizan) 1999 hal 51-   52










[1] http://maxzhum.blogspot.com /2009/05/resume-macam-macam-akad-keuangn
[2] Hertanto widod, dkk, Panduan Praktis Operasional Baitul Mal, (Bandung: mizan) 1999 hal 51-   52




[3] Adiwarman A karim, Bank Islam, Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) 2006 hal 297-298