INTERAKSI
PERADABAN ISLAM DENGAN PERADABAN MODERN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Kelas : B( Ekonomi Islam )
Dosen Pengampu : Zainal Arifin,
S. Ag, M. Ag,
Disusun Oleh:
1.
M. Khoirul yusuf : 212133
2.
Uliyatun nasiroh : 212134
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / EKONOMI ISLAM
2013
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
umat Islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan
kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah
dunia Islam, baik di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain, yang berasal dari
Timur maupun Barat. Dari kekhawatiran tersebut, maka kemudian cenderung
bersikap resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat
muslim dari pengaruh negative berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai
tingkat tertentu, mereka juga berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang
atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum
muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat Islam
yang lain cenderung menerima apa yang datang dari Timur maupun Barat tanpa reserve.
Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai
kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka,
segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang
menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.
Dari gambaran tersebut, kaum muslimin harus bersikap kritis dengan
menelaah setiap permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan
mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang
utuh.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
problem dunia Islam di Era Modern?
2.
Bagaimana
kondisi politik, ekonomi, dan budaya Islam di Era Modern?
II. PEMBAHASAN
1.
Dunia Islam di
Era Modern
Melihat wajah dunia Islam masa kini yang berada pada titik puncak
kemundurannya, maka dapat dikemukakan beberapa problem secara umum yang dialami
oleh sebagian besar umat Islam:
a.
Ancaman Yahudi
Kuku-kuku Yahudi menyebar ke berbagai sektor kehidupan manusia,
yahudi ingin memutarbalikkan fakta sejarah dan menguburkan fakta kebenaran
sehingga mereka mampu menempatkan orang yang benar sebagai terhukum dan yang
salah sebagai termenang. Racun Yahudi telah ada jauh sebelum Konferensi sebelum
tahun 1897. Juga telah ada jauh sebelum Rabae Leiva (1520-1659) yang menyerukan
berdirinya Negara Yahudi di Palestina. Bahkan pada zaman Rasulullah pun ancaman
Yahudi “kepala naga” sudah ada untuk umat Islam
b.
Sekularisme
Sekularisme berasal dari
kata “secular”, yang berarti unreligious atau anti agama. Pada mulanya,
sekulerisme bertujuan menghancurkan pengaruh gereja di Eropa dan melepaskan
belenggu kedzaliman tokoh-tokoh gereja, yang pada akhirnya berhasil mengibarkan
panji sekulerisme dengan slogan “Religion is for God and Nation is for All”.
Akan tetapi, sekulerisme tidak hanya melanda dunia Barat-Kristen, tetapi
menyusup ke seluruh Negara-negara Islam melalui sistem pemerintahan yang
diwariskan oleh colonial kepada Negara jajahannya, dan juga melalui
sarjana-sarjana yang belajar di Perguruan Tinggi Barat yang tidak hanya datang
mempelajari ilmu-ilmu Exacta, tetapi juga belajar ilmu politik, social, dan
bahkan ada yang datang ke Barat untuk belajar Islam. Sebuah kenyataan yang
memprihatinkan akhir-akhir ini.
Dalam konteks ini tampaknya
sebagian orang benar-benar tertipu oleh kemajuan peradaban Barat. Kemajuan
sains dan teknologi Barat, oleh sebagian orang dinilai karena keberhasilan
mereka memisahkan antara dunia dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, mereka
lupa bahwa kemajuan Barat itu sendiri dengan segala akses dan bencana yang
dibawanya yang dinilai sebagai hasil dari sekulerisme, sungguh tidak relevan
dengan dunia Islam. sekulerisme mungkin dapat diterima untuk dunia Barat
Kristen, karena sistem religiusnya yang sulit bertahan dalam menghadapi
perkembangan zaman. Lain halnya dengan Islam, yang ajarannya senantiasa relevan
dengan perputaran roda peradaban manusia. Ini karena, sebagai agama yang
terakhir, Islam menganut sistem universal dan lengkap. Tak satu aspek pun dalam
kehidupan ini yang luput dari aturan Islam ditambah lagi oleh sistem hukum
dalam Islam yang menerima perkembangan zaman yang dinamis (mutathawwir) di
samping konsep-konsep yang konstan dan berlaku umum (tsabit).
c.
Nasionalisme
Seiring dengan sekulerisme
bangkit pula faham nasionalisme yang menjangkiti seluruh Negara muslim. Gerakan
nasionalisme telah menyerbu negeri-negeri Islam sejak khilafah Utsmaniah masih
berdiri tegak. Melalui penjajahan colonial, ide nasionalisme diinjeksikan
kepada tokoh-tokoh dan membangkitkan semangat cinta leluhur di setiap
negeri-negeri Islam, hingga setiap bangsa tidak lagi merasa dipersatukan oleh
akidah Islam, tetapi lebih menonjolkan warisan nenek moyangnya sebelum Islam.
Mesir ingin kembali pada leluhur Fir’aunnya, Turki membesar-besarkan peradaban Turani-nya,
Suriah dengan Phoenicisme-nya, Maroko dengan Barbar-nya, daan demikian
pula dengan Negara-negara Islam lainnya.
Karena saangat ampuhnya
spirit nasinonalisme di dunia Islam, begitu “Khilafah Utsmaniyah” di Turki
runtuh masing-masing negeri Islam yang sebelumnya bernaung di bawah payung
“Utsmaniyah”, memproklamasikan dirinya sebagai Negara yang berdiri sendiri
dengan pemerintahan yang tersendiri pula. Jadi, pada saat Khilafah Utsmaniyah
mengalami kemunduran, Yahudi dan Barat Kristen bekerja sama melakukan
konspirasi di dalam tubuh pemerintahan Utsmaniyah dengan mengorbitkan Kemal
Attarurk, Yahudi Turki yang siap menghancurkan pemerintahan yang telah berumur
ratusan tahun itu. Di Negara-negara Islam lainnya colonial Barat telah lebih
dahulu menanamkan semangat Nasionalisme kepada setiap bangsa yang dijajahnya
agar memisahkan dari pemerintahan induk di Turki. Barat berusaha melukiskan
kepada bangsa-bangsa Islam bahwa Nasionalisme adalah jawaban satu-satunya untuk
mengatasi problema yang sedang dihadapi umat Islam. Padahal dalam literature
Islam nasionlisme, tidak lain dari suatu seruan fanatisme kesukuan dan
kebangsaan yang dilukiskan oleh Rasulullah SAW. Sebagai “barang yang berbau
busuk”.[2]
1.
Kondisi
Politik, Ekonomi, dan Budaya Islam di
Era Modern
a.
Kondisi Politik
Islam di Era Modern
Ketika
Negara-negara Islam berhasil meraih kemerdekaan dari penjajahan militer Barat
pada pertengahan abad ini, banyak orang bergembira. Akan tetapi, banyak orang
lupa bahwa pada awal abad ini telah terjadi suatu konspirasi internasional yang
meruntuhkan kekuatan politik umat Islam, yaitu dihapuskannya Khalifah
Utsmaniyah di Turki, karena kemunduran progress dari kerajaan Utsmani yang
merupakan pemangku Khilafah Islam, setelah abad ke tujuh belas[3]. Walaupun
tidak bisa dipungkiri adanya berbagai kelemahan di dalam tubuh sistem yang
berkuasa pada saat itu. Dan banyak orang yang lupa bahwa dengan hengkangnya
penjajah, bukan berarti sebuah Negara telah merdeka secara total. Akan tetapi,
jauh sebelum Barat meninggalkan daerah jajahannya, Barat terlebih dahulu
mempersiapkan calon pimpinan penggantinya di negeri itu, walaupun orangnya
berasal dari putra Negara jajahan. Buktinya kemerdekaan yang dicapai hanya
sekedar merdeka dari orang-orang asing, tetapi dari segi hukum, sistem, dan
praktek yang berlaku tidak jauh berbeda, kalau tidak persis sama dengan sistem
dan hukum masa penjajahan.
Dalam
beberapa dekade terakhir ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet tampil sebagai
pengatur dan penentu peta politik dunia. Kedua negara “super power” itu
berhasil mengotak-otakkan dunia Islam ke dalam dua blok, yaitu blok Barat dan
Blok Timur. Meskipun dunia Islam menyatakan dirinya sebagai Negara nonblok,
namun dalam praktiknya sikap itu sulit dipertahankan, karena ketergantungan
sebagai Negara-negara Islam kepada Barat, yang tidak hanya menyangkut ekonomi,
bahkan juga politik, miter, dan sampai pada budaya.
Di
Barat menggunakan sistem kapitalisme dalam perekonomian, demokrasi dalam sistem
politik, dan eksistensialis atau faham kebebasan dalam kehidupan social, maka
di Negara muslim, sistem yang sama juga ditemukan dengan tiga elemennya.
Demikian pula blok Timur dengan sosialisme sebagai landasan ekonomi,
diktatorisme-proletar sebagai faham politik, dan kebebasan moral normatif
sebagai sistem sosialnya, maka acuan yang sama juga ditemukan di banyak Negara
Islam. Walaupun pada hakekatnya, kedua sistem ini adalah hassil dari rekayasa
Yahudi dan diatur oleh sebuah policy (kebijaksanaan) yang sama.[4]
b.
Kondisi Ekonomi
Islam di Era Modern
Bidang
ekonomi merupakan sisi globalisasi yang paling penting. Salah satu bentuk
implementasinya adalah realisasi pasar bebas dengan berbagai piranti
pendukungnya, seperti hilangnya sekat penghalang bagi transaksi perdagangan,
dibukanya pintu jual-beli tanpa proteksi, dan menjamurnya konglomerasi
perekonomian raksasa yang banyak menguasai Negara-negara maju. Fenomena ekonomi
global yang lain adalah merebaknya perusahaan-perusahaan patungan antar Negara
yang mampu mencengkeram perekonomian dunia, sekalipun harus digerakkan atas
atnggungan pihak (Negara) yang miskin dalam bentuk institusi-institusi keuangan
seperti bank internasional ataupun holding company.
Seandainya
kita boleh memandang fenomena tersebut secara terbuka, dengan menghilangkan
asumsi-asumsi parsial, niscaya kita akan sampai pada suatu keyakinan bahwa
globalisasi ekonomi harus diapresiasi dengan positif agar kaum muslimin bisa
memtik manfa’at darinya. Kita perlu sesegera mungkin menyatukan langkah untuk
membangun konglomerasi ekonomi Islam yang secara pro aktif turut meramaikan
percaturan zona-zona ekonomi tingkat regional maupun internasional. Salah satu
bentuknya adalah dengan meningkatkan kualitas produksi, yang akan mendorong
kaum muslimin mampu bersaing dengan kompetisi era globalisasi. Tentu saja, hal
ini harus dibarengi dengan peningkatan dan penyempurnaan kualitas produksi internal
kita dalam berbagai komoditas yang berbeda.
Lebih
dari itu umat Islam juga dituntut untuk meningkatkan frekuensi perdagangan
bilateral antara Negara-negara Islam, yang saat ini ironisnya hanya sekitar 10%
dari total frekuensi hubungan dagang Negara-negara Islam dengan dunia luar.
Jika
umat Islam berhasil melaksanakan agenda-agenda di atas, maka paling tidak kita
tak perlu lagi mengkhawatirkan imbas negative globalisasi ekonomi terhadap
dunia Islam. Jika umat Islam mampu merespon arus ekonomi yang datang dari luar
dengan arus ekonomi yang sepadan, maka umat ini akan menjadi salah satu
competitor (pesaing) penting di era globalisasi. Bukan sekedar menjadi
partisipan yang mengikuti kelompok-kelompok lain. Sehingga pada stadium
selanjutnya, umat Islam akan memiliki pengaruh yang amat diperhitungkan dan
mampu menyumbangkan saham bagi rekonstruksi arus globalisasi.[5]
c.
Kondisi Sosial
Budaya Islam di Era Modern
Selanjutnya
globalisasi di bidang budaya. Jika hal ini didefinisikan sebagai upaya
mewujudkan suatu budaya dunia universal yang bertujuan membangun kesadaran
setiap individu akan tujuan-tujuan bersama demi kemanusiaan, dan untuk lebih
mengetahui bahaya-bahaya yang mengancam umat manusia beserta lingkungannya,
bahaya terorisme, jaringan narkotika, dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada
yang perlu diperdebatkan tentang semua itu. Tetapi, inti persoalannya baru
muncul setelah ada kecenderungan globalisasi budaya yang hendak mengikis jati
diri budaya bangsa-bangsa dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang berasal
dari suatu peradaban tertentu, yaitu peradaban Barat. Suatu hal yang dapat
menghancurkan jati diri budaya suatu bangsa, daan bahkan mengikisnya.
Barangkali fenomena seperti itulah yang agaknya melahirkan penolakan dalam
dunia Islam dan terkadang dianggap sebagai tantangan terberat yang mengancam
identitas kaum muslimin.
Ada
suatu pertimbangan yang layak direnungkan. Islam sebagai agama inklusif tentu
tak mungkin menolak suatu budaya hanya semata-mata karena ia berasal dari luar.
Islam akan menelaah budaya tersebut, memilah-milah kandungannya secara seksama
dan mengambil elemen-elemen yang bermanfa’at dalam dinamika perdaban itu.
Di
zaman modern ini kita dituntut untuk memainkan fungsi akal dan ikiran demi
menyikapi kebudayaaan modern yang disuguhkan ke hadapan kita. Islam sebagai
agama yang diturunkan untuk mewujudkan maslahat manusia, tidak mungkin rasanya
menolak secara membabi buta suatu kebudayaan yang mengandung manfa’at bagi umat
manusia. Maka melalui penyikapan yang kritis, di satu sisi kita tetap bisa
menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tetap tidak
terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.
Kita harus berinteraksi dengan perkembangan zaman sebagai sebuah kenyataan,
bersentuhan dengannya secara positif-konstruktif, agar kita selalu dapat
memetik maslahat yang dihasilkannya bagi masyarakat.[6]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Problem Dunia
Islam di Era Modern
a.
Ancaman Yahudi
Yahudi ingin memutarbalikkan fakta sejarah
dan menguburkan fakta kebenaran, sehingga mereka mampu menempatkan orang yang
benar sebagai terhukum dan yang salah sebagai pemenang.
b.
Sekularisme
Sekularisme
telah melanda sebagian besar dunia Islam, dimana Islam tidak lagi difungsikan
untk mengatur segenap aspek kehidupan umat Islam, tetapi hanya sekedar ibadah ritual yang tidak boleh
ikut campur dalam urusan politik. Ekonomi, social budaya, dan lainnya.
c.
Nasionalisme
Melalui
penjajahan colonial ide gerakan nasionalisme diinjeksikan kepada tokoh-tokoh
dan membangkitkan semangat cinta leluhur di setiap Negara-negara Islam, hingga
setiap bangsa tidak lagi merasa dipersatukan oleh Akidah Islam, tetapi lebih
menonjolkan warisan nenek moyangnya sebelum Islam.
2.
Kondisi Politik,
Ekonomi, dan Budaya dalam Dunia Islam di Era Modern
a.
Kondisi Politik
Islam di Era Modern
Di
Barat menggunakan sistem kapitalisme dalam perekonomiannya, demokrasi dalam
politik, dan eksistensialis atau faham kebebasan dalam kehidupan social, maka
di Negara muslim sistem yang sama juga ditemukan. Walaupun pada hakekatnya,
sistem ini adalah hasil dari rekayasa Yahudi dan diatur oleh sebuah policy
kebijaksanaan yang sama.
b.
Kondisi Ekonomi
Islam di Era Modern
Negara-negara
Islam perlu sesegera mungkin menyatukan langkah untuk membangun konglomerasi
Ekonomi Islam yang secara pro aktif turut meramaikan percaturan zona-zona
ekonomi tingkat regional maupun internasional.
c.
Kondisi Budaya
Islam di Era Modern
Di
zaman modern ini, kita sebagai umat Islam dituntut untuk memainkan fungsi akal
dan pikiran demi menyikapi kebudayaan modern yang disuguhkan di depan kita.
B.
Penutup
Demikianlah
makalah yang adapat kami buat, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan kami mohon ma’af. Kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan untuk perbaikan dalam pembuatan makalah kami selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfa’at untuk kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdi, Mahmud Zaqzaq. 20001.
Reposisi Islam di Era Globalisasi. Jogjakarta. Pustaka Pesantren.
Rasyid, Daud. 1998. Islam dalam
Berbagai Dimensi. Jakarta. Gema Insani Press.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
[1]
Mahmud Hamzi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Jogyakarta, Pustaka
Pesantren, hlm 3
[2]
Daud, Rasyid, islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta, Gema Insani Press, hlm
246-254
[3]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm
257
[4]
Ibid,hlm 250-251
[5]
Mahmud Hamdi Zagzug, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Jogyakarta, Pustaka
Pesantren hlm 6-7
[6]
Ibid,hlm10-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar